-->
logo

Resesi Ekonomi Akibat Bisnis Tidak Selaras Dengan Spiritualitas

Hot News

Hotline

Resesi Ekonomi Akibat Bisnis Tidak Selaras Dengan Spiritualitas

 


SKJENIUS.COM, Jakarta.— RESESI EKONOMI yang melanda sebagian besar negara-negara kapitalis, termasuk Amerika Serikat dan Sekutunya di Eropa merupakan Lonceng Kematian Sekularisme di seluruh dunia. Pasalnya, sekularisme yang melahirkan sistem ekonomi kapitalis mengabaikan nilai-nilai spiritual, moral dan etika dalam berbisnis. Sehingga mereka tumbang dalam tempo tiga bulan oleh hantaman wabah corona


Tumbangnya pemain-pemain besar ekonomi dunia ini membuat Pertumbuhan Ekonomi 2020: Lebih Buruk Dibanding Krisis Global 2008. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksi perekonomian global bakal mengalami kontraksi yang lebih dalam dari prediksi yang sebelumnya telah dilakukan pada April lalu. Sebelumnya IMF menyatakan perekonomian dunia akan mengalami krisis keuangan terburuk sejak Depresi Besar tahun 1930-an, perekonomian dunia diproyeksi bakal mengalami kontraksi hingga 3 persen pada 2020.

 

Banyak pihak melihat Krisis Global hari ini semata sebagai krisis ekonomi yang diakibatkan wabah Covid-19. Pandangan ini adalah adalah lensa pandang yang ahistoris. Sesungguhnya krisis sudah sedemikian lama menjadi realitas dari kehidupan kita akibat tegangan-tegangan yang tak lagi terselesaikan dalam sistem kapitalisme. Dampak krisis ini seolah tak terasa oleh masyarakat luas lantaran resiko-resiko dari krisis selama ini secara tidak adil didistribusikan pada kaum kerja, miskin kota, petani, dan kaum adat.


Sebagai warisan penjajah Barat, sekularisme merupakan paham yang rusak karena jelas-jelas menolak peran agama dalam pengaturan kehidupan, khususnya dalam politik dan ekonomi. Akhirnya Kekuasaan pun  hanya dijadikan lat untuk meraih keuntungan materi, bukan untuk melayani kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka. Dalam politik sekuler, kebebasan hanya menjadi alat pembenaran berbagai perilaku untuk memuaskan kepentingan pribadi, kelompok atau partai tertentu.


Sementara itu, dalam pandangan ekonomi sekuler, maksimalisasi laba sebagai kondisirasional yang tidak berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Sehingga muncul dorongan untuk pengayaandiri dengan penggandaan penjualan menjadikan kompetisi di antara para pebisnis. Kondisi seperti itu menimbulkan persaingan yang tidak sehat diantara para pebisnis. Padahal seharusnya antar pebisnis harus saling menghormati, menghargai, dan menghormati.


Marilah kita jadikan ancaman resesi ini sebagai titik balik (turning point) untuk kembali ke Jati Diri bangsa yang berdasarkan Pancasila. Untuk itu perlu kita sadari bersama bahwa Indonesia, bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, tetapi negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau negara religius. 


Dalam negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tujuan ekonomi dan bisnis bukanlah semata ingin menghasilkan uang lebih banyak. Namun lebih dari itu, kita bersama memperjuangkan Kesejahteraan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.


Karena itulah dalam berbisnis, kita menyadari bahwa tujuan material belum cukup kuat untuk bisa bertahan lama. Pasalnya, sebagai manusia kita juga membutuhkan kesejahteraan spiritual. Karena itulah spiritual dan aktivitas bisnis sesungguhnya tidak dapat dipisahkan.


Bahkan ada sejumlah penelitian yang mengungkapkan bahwa di masa depan, keberhasilan bisnis akan diperoleh jika berbisnis dilandasi nilai-nilai spiritual. Itulah mengapa factor spiritalitas menjadi penting untuk diperhatikan, khususnya bagi para pemimpin. Tidak hanya faktor teknis dalam menjalankan perusahaan, yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin-pemimpin yang memiliki landasan spiritual yang kuat untuk memimpin sebuah perusahaan.


Untuk perlunya kita menyadari pentingnya nilai-nilai spiritual untuk menyertai kegiatan bisnis. Maka, Spiritual Business Consultant berupaya memasyarakatkan pentingnya spirituality in the workplace agar semakin banyak perusahaan yang menyandarkan aktivitasnya pada aspek spiritualitas (menjadi spiritual company). Sukses material (profit, uang, aset) maupun sukses sosial (reputasi, brand, citra) mestinya dibarengi kesuksesan spiritual. Mengapa harus selaras antara bisnis dan spiritual?


Tentu agar kita memahami sejak awal bahwa kekayaan tidak lagi dipandang sebagai tujuan akhir. Uang juga tak lain  hanya alat untuk mencapai misi dan cita-cita mulia. Kesadaran spiritual diperlukan sebagai langkah untuk mengatasi efek sistem kapitalisme bisnis yang merusak lingkungan maupun kehidupan manusia itu sendiri. Karena itulah Tugas Kita adalah Berjihad agar Tidak Tumbang oleh Virus dan Menumbangkan Kapitalisme. 

 

Improving the Quality of Human Capital


Sejak terjadi Wabah Covid-19 yang muncul pertama kali di Wuhan, Cina pada Desember 2019, dunia terus berubah, tantangan masing-masing era pun berubah. Ibadah memang bukan hanya di tempat ibadah atau saat menjalankan ritual. Semua sendi kehidupan adalah ibadah, termasuk bekerja dan berbisnis. Semakin banyak pula orang menyadari bahwa bekerja dengan Niat sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah, tidak bertentangan dengan ketentuan-Nya.


Tatanan kerja yang terbangun kemudian bisa jadi ‘lebih sakral’ dibanding sekadar mendapatkan keuntungan finansial semata. Spiritualitas mampu menghasilkan lima hal, yaitu: integritas atau kejujuran; energi atau semangat; inspirasi atau ide dan inisiatif; wisdom atau bijaksana; serta keberanian dalam mengambil keputusan. Singkat kata, spiritualitas terbukti mampu membawa seseorang menuju tangga kesuksesan


Sebagai CEO Spiritual Business Consultant, saya sering mendapat pertanyaan yang diajukan berbagai pimpinan perusahaan maupun businessman dalam diskusi maupun konsultasi tentang konsep modal manusia (human capital) yang dikembangkan Spiritual Business Consultant. Pertanyaan itu diajukan dalam konteks bagaimana meraih sukses dalam bisnis berbasiskan Manajemen Ilahiyah.


Jac Fitz-Enz (2009), dalam buku: ROI of Human Capital, mengemukakan bahwa human capital dalam konteks bisnis merupakan kombinasi sifat individu

yang dibawa ke dalam jabatannya, termasuk kreativitas, energi, spirit dan motivasi. Dalam diri setiap orang inherent melekat kekuatan untuk mengembangkan nilai tambah (added value), dalam bisnis.


Dalam pandangan Spiritual Business Consultant, sukses bisnis tidak terlepas dari kekuatan spiritual yang inherent melekat dalam diri setiap Muslim. Kekuatan Spiritual artinya kekuatan yang timbul dari keimanan, yakni keyakinan dalam hubungannya sang pencipta yaitu Allah. Kekuatan spiritual dalam konteks ini akan mendorong setiap Muslim untuk melakukan kebajikan sebagai bagian dari amal saleh yang menghasilkan nilai tambah yang bermanfaat dan halal.


Sebagai bentuk realiasasi menanamkan prinsip keimanan ke arena bisnis itu, Spiritual Business Consultantmengembangkan Konsep Berbisnis Sebagai Ibadah. Kabar baiknya, banyak orang yang mulai menyadari pentingnya menciptakan bisnis yang skema bisnisnya itu didasarkan pada kepedulian mereka terhadap sebuah isu kemanusiaan, sosial dan lingkungan. Jadi, Berbeda dengan kegiatan bisnis tradisional, dimana perusahaan hanya berpikir dalam segi keuangan tanpa memikirkan efek ke lingkungan maupun sosial. 


Dengan demikian konsep human capital yang dikembang Spiritual Business Consultant tidak terlepas dari kekuatan spiritual yang melekat pada kemauan setiap Muslim untuk berbuat kebajikan dalam berbagai dimensi kehidupan termasuk dalam kegiatan bisnis. Nilai-nilai spiritual ini juga telah menginspirasi ahli-ahli manajemen sumber daya manusia yang dikembangkan dan meletakkan aspek spiritual sebagai soft skill yang menjadi faktor sukses dalam perusahaan di samping hard skill (technical skill).


Spiritual Business Consultant tidak memisahkan antara soft skill dan hard skill. Karena itu, Spiritual Business Consultant tidak memisahkan antara nilai-nilai spiritual dengan aktivitas bisnis karena nilai-nilai religius dan spiritual menjadi pedoman bagi perilaku Muslim dalam menjalankan aktivitas bisnis.


Kekuatan spiritual merupakan faktor sukses yang penting sehingga tidak mengherankan bila para pimpinan bisnis (chief executive officer/CEO) membangun kekuatan ini melalui program character building bagi para staf dan karyawan mereka. Memperkuat pandangan ini, Gay Hendricks dalam bukunya: The Corporate Mystic (1996), menjelaskan bahwa CEO kelas tinggi memiliki spiritual yang kuat dan membawa nilainilai spiritual kedalam praktik bisnis.


Spiritual Business Consultant ingin memasyarakatkan bahwa nilai-nilai spiritual yang bersumber dari Alqur’an, Hadits, Hikmah para Guru Mursyid dan Kearifan Lokal Nusantara diyakini akan mendorong motivasi seseorang untuk berbuat lebih produktif. Semangat setiap orang dalam perusahaan untuk bekerja baik didorong oleh spirit untuk dicintai oleh Allah seba gaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang di antara kalian yang jika bekerja, maka ia bekerja dengan baik.” (HR Baihaqi).


The Importance of Strategic Human Resource Management


Sebagaimana kita ketahui, Indonesia adalah Pasar Terbesar di Asean. Bumi Nusantara ini pun memiliki Kekayaan Alam yang berlimpah, Sumber Daya Manusia pun sangat besar. Namun sayangnya, Kualitas SDM RI Masih Rendah. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) baru-baru ini merilis hasil survei The Programme for International Student Assessment (PISA) edisi 2018.


Penilaian PISA berfokus pada performa akademis siswa berusia 15 tahun di setiap negara, dinilai dari kemahiran dalam membaca, matematika, sains dan domain yang inovatif. Berdasarkan survei yang baru dirilis tersebut, skor PISA Indonesia mengalami penurunan dibandingkan dengan hasil terakhir pada tiga tahun lalu di 2015. Skor rata-rata pada aspek membaca (reading) turun dari 397 menjadi 371. Begitu juga dengan skor pada aspek matematika turun dari 386 ke 379, serta skor pada aspek sains (science) yang turun dari 403 menjadi 396. 


Karena itulah fokus pemerintah pada SDM harus lebih serius, fokus dan strategis. Bagaimana Indonesia dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusianya?  Kebijakan dan program apa yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan keterampilan, meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, dan meningkatkan akses ke jaminan sosial?


Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, manfaatnya belum dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.  Terdapat kesenjangan yang signifikan dalam akses layanan publik yang berkualitas, termasuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur dasar, air bersih, dan sanitasi, khususnya di luar Jawa.  Kesehatan yang buruk dan pendidikan berkualitas rendah berdampak pada kualitas dan produktivitas tenaga kerja Indonesia.


Meningkatkan kualitas sumber daya manusia seharusnya menjadi fokus utama dari pemerintah saat ini.  Program Pendidikan Barat yang berbasis sekularisme sudah seharusnya direformasi dengan Sistem Pendidikan Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasalnya, selama ini Sistem Pendidikan kita terlalu menitikberatkan pada satu daya saja, sehingga akan menghasilkan ketidak-utuhan perkembangan sebagai manusia. 


Padahal, Badan Diri manusia, lahir batin, sudah dirancang Allah dengan sangat canggih. Dengan kemampuan yang ada pada DIRI manusia itu, memungkinkan manusia untuk memiliki kekuatan di luar batas normal (Super Power). Sehinggga mampu melaksanakan tugasnya sebagai Khalifah Allah di muka bumi.


Guru Mursyid kita, Allahyarham KH. Muhammad Nasir Abdullah menjelaskan, ada Tiga Kekuatan pada DIRI Manusia yaitu Rasa (Hati/Qalbu), Cipta   (Daya Pikir/Mind), Karsa (Kehendak/Nafs/Soul). Ketiga Potensi inilah yang menjadikan manusia sebagai Ciptaan Allah paling Sempurna. Sebagaimana ditegaskan Allah : "Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang." (QS. Al-Infithar : 7).


Menurut KH. Muhammad Nasir Abdullah, manusia memiliki TIGA POTENSI dalam dirinya, yaitu rasa, cipta, dan karsa. Maka, pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang, selaras dan harmonis. Inilah yang disebut oleh Nenek Moyang kita Bangsa Nusantara dengan istilah Tridaya Shakti.


Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Bahkan bukan mustahil menjadi koruptor karena tidak punya Budi Luhur dan Rasa Malu. Namun sayangnya, ternyata pendidikan sampai sekarang ini, memang baru sampai pada peningkatan Daya Pikir dan Keterampilan belum sampai pada pengembangan Daya Cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan Olah Rasa dan Olah Karsa. Jadi belum sampai pada taraf membangun manusia seutuhnya.


Maka, marilah sama-sama kita sadari, baik pemerintah, rakyat maupun organisasi kemasyarakatan dan partai politik bahwa Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya merupakan hakikat pembangunan nasional Indonesia. Membangun manusia Indonesia seutuhnya adalah titik pangkal sekaligus titik akhir dari setiap usaha dan kerja yang sedang diusahakan dan dikerjakan oleh seluruh manusia Indonesia.


Harus disadari bahwa komponen paling penting dalam berlangsungnya kehidupan berbangsa dan bernegara adalah manusia. Manusia sebagai warga negara yang mengelola seluruh komponen-komponen pembentuk struktur keberadaan suatu bangsa seperti sumber daya alam, posisi geografis negara, keberagaman, komposisi penduduk, warisan filsafat dan nilai-nilai suatu bangsa, dan manusia itu sendiri. Jelas, bahwa manusia adalah satu-satunya pengelola segala sumber daya bangsanya.


Maka sangatlah memprihatinkan dalam usia 75 tahun kemerdekaan Indonesia kini, jika penyataan “Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya,” masih belum beranjak dari tataran slogan dan retorika belaka? Mari kita renungkan dan kita refleksikan diri kita, bangsa kita, dengan penuh keikhlasan dan kejujuran, sudah sejauh mana implementasi “Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya,” sebagai hakikat pembangunan nasional Indonesia. (az).






This blog is created for your interest and in our interest as well as a website and social media sharing info Interest and Other Entertainment.