-->
logo

Problematika Kedudukan Fungsionaris Partai Politik di Dalam Anggota Dewan Perwakilan Daerah

Hot News

Hotline

Problematika Kedudukan Fungsionaris Partai Politik di Dalam Anggota Dewan Perwakilan Daerah

https://pospapua.com/wp-content/uploads/2019/06/sidang-MK.jpg

Dewan Perwakilan Derah merupakan lembaga yang memiliki kedudukan sebagai wakil dan representasi dari daerah yang mana anggotanya dipilih dari tokoh masyarakat yang bukan bagian dari pengurus partai politik. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 adalah salah satu yang menyatakan bahwa pengurus partai politik dilarang menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Di dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah anggota yang merupaakan fungsionaris partai justru menghilangkan eksistensi Dewan Perwakilan Daerah yang seharusnya membawa kepentingan daerah justru membawa kepentingan partai politiknya.

Adanya reformasi pada tahun 1998 telah menghasilkan suatu perubahan yang fundamental terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, dimana perubahan tersebut dilakukan dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang dilakukan sebanyak empat kali. Amandemen UUD NRI 1945 yang pertama dilakukan melalui sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999, sementara untuk amandemen UUD NRI 1945 yang kedua, ketiga, dan keempat dilakukan melalui sidang tahunan MPR, yang dilakukan secara berurut pada tahun 2000, 2001, dan 2002. Hasil amandemen ke 3 (tiga) UUD NRI 1945    telah memposisikan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif. DPD bersanding dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam komposisi keanggotaan MPR (Gabriel Talawe, 2017:2).

Tujuan dibentuknya DPD adalah sebagai penghubung antara daerah dengan pusat, namun dalam perkembangannya timbul beberapa masalah yang merusak tujuan awal dibentuknya DPD, yaitu salah satunya adalah adanya beberapa anggota partai politik yang mengemban sebagai anggota DPD. Salah satu contohnya adalah terpilihnya Ketua Partai Hanura bernama Oesman Sapta Odang sebagai ketua DPD yang menuai berbagai kontroversi yaitu lembaga DPD yang tidak lagi dianggap sesuai dengan marwahnya. Dimana yang semula DPD berfungsi sebagai pembawa aspirasi dari daerahnya menjadi pembawa aspirasi dari partai politik mereka, serta dengan adanya anggota DPD yang juga menjadi anggota partai politik cenderung akan lebih mendahulukan kepentingan partai politiknya dibandingkan dengan kepentingan masyarakat daerah.

Pengaturan tentang calon anggota DPD pertama kali dinormakan dalam Pasal 63 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dalam pasal ini menyatakan bahwa salah satu syarat menjadi anggota DPD adalah tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun dihitung sampai dengan pengajuan calon. Akan tetapi, pada tahun 2008 terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008 yang mengubah aturan tersebut. Putusan MK tersebut menyatakan bahwa anggota partai politik boleh turut serta sebagai peserta pemilu dari calon perseorangan dalam pencalonan anggota DPD. Oleh karena itu, pengaturan mengenai pengaruh partai politik yang dilarang menjadi anggota DPD mengalami suatu kekosongan hukum.

Banyaknya anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik telah memunculkan kekhawatiran dan diskursus publik, sehingga diajukanlah pengujian konstitusionalitas pasal 182 huruf l Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 dengan amar putusan yang menyatakan bahwa, “frasa ‘pekerjaan lain’ dalam Pasal 182 huruf l bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik.” Putusan ini memberikan penafsiran hukum secara tegas dengan melarang calon anggota DPD yang masih berstatus sebagai pengurus partai politik (Pan Mohamad Faiz dan Muhammad Reza Winata, 2019:535-536).

Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 berlaku sejak dibacakannya putusan pada tanggal 23 Juli 2018. Putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.

Dari penjelasan di atas  penulis menyimpulkan bahwa keberadaan DPD RI dalam desain bangunan ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk menjembatani aspirasi lokal kedaerahan dengan kebijakan pembangunan nasional. Dengan demikian kepentingan dan aspirasi lokal dapat terintegrasi dan selaras dengan kebijakan pusat, mengingat luasnya wilayah Indonesia dan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi dan berbagai ancaman disintegrasi atau pemisahan diri beberapa daerah yang menganggap tidak pernah diperhatikan aspirasi dan kesejahteraannya oleh pemerintah pusat. DPD juga berfungsi sebagai wakil rakyat yang kepentingannya tidak diakomodasikan oleh anggota DPR, oleh karena itu DPD dibentuk terkait sifat degree of representativeness dari lembaga perwakilan tersebut agar bisa menjamin keseluruhan kelompok yang ada di dalam masyarakat. Dengan dilarangnya fungsionaris partai politik menjadi anggota DPD akan berdampak positif dan mengarah pada penguatan dari DPD itu sendiri. Ketiadaan fungsionaris politik dalam DPD akan mereduksi kemungkinan terjadinya keterwakilan ganda dalam kamar tersebut sehingga dapat menciptakan DPD yang lebih bersih dan mewakili rakyat. (khz).

This blog is created for your interest and in our interest as well as a website and social media sharing info Interest and Other Entertainment.