SKJENIUS.COM, Cikarang.-- Beberapa hari menjelang tahun baru 2021 lalu, saya kedatangan tamu seorang pengusaha pelayaran yang berkonsultasi tentang Usahanya yang Terpukul Akibat COVID-19 sejak April 2020 lalu. Keesokan harinya, secara bersamaan datang pula seorang Ibu pengusaha Logistic & Supply Chain bersama dua orang kawannya yang sehari-hari sebagai Ibu rumah tangga.
Pada dasarnya, baik problem yang dihadapi
emak-emak, ibu rumah tangga dan pengusaha itu sama, yakni mewakili
keluhan ratusan juta orang di dunia, yakni betapa mencekamnya kehidupan dan
babak-belurnya perekonomian umat manusia selama sepuluh bulan terakhir. Bahkan,
perekonomian Indonesia pun terpuruk ke jurang resesi. Sehingga, ada yang
mengatakan, tahun 2020 adalah tahun yang hilang, tahun ketidakpastian, bahkan
lebih seru lagi disebut sebagai tahun yang mengerikan (annus horribilis).
Tetapi, ada juga yang bergurau, tahun 2020
adalah tahun OTG alias Orang Tanpa Gaji. Disebut demikian, saking banyaknya
yang kena PHK. Sementara itu, keluhan pengusaha pelayaran serta ibu pengusaha
logistik adalah sama dan barangkali mewakili keluhan dari jutaan orang
pengusaha UMKM lainnya. Wabah virus corona, menjadi badai yang sempurna
(perpect storm) yang memporakporandakan perekonomian dunia. Hal ini tak berbeda
jauh dengan sektor logistik yang berada sangat dekat terhadap dampak virus
corona.
Perlu diingat bahwa Tiongkok merupakan global
production hub di era perekonomian saat ini. Lumpuhnya sebagian
besar ekonomi Tiongkok menyebabkan rantai pasok ke para mitra dagangnya
terganggu, termasuk Indonesia. Efeknya menjalar tanpa mengenal batas negara.
Maka, pertanyaan para tamu saya itupun pada
dasarnya sama, yakni serentetan pertanyaan sebagai berikut, “Apa
Kehendak Allah dengan mengizinkan wabah corona terjadi. Apa sesungguhnya pelajaran
atau i’tibar yang dapat diambil dari peristiwa yang mengguncang dunia, dan
bahkan menimbulkan semacam “kepanikan massal” ini?”
“Apakah
ini peringatan Allah, Rabb Sang Pencipta kehidupan, agar manusia sebagai
hamba-hamba dan makhluk ciptaan-Nya, ini sudah lupa dan banyak melakukan
penyimpangan, atau karena apa? Ataukah karena ulah manusia itu sendiri yang
melakukan coba-coba untuk menjadikan Covid-19 sebagai “senjata biologi” untuk
menghancurkan lawan?”
Insya Allah, melalui tulisan ringkas ini,
sebagai seorang Spiritual Business Consultant, saya ingin berbagi pengalaman
dengan para pemirsa dalam menjawab rentetan pertanyaan tersebut di atas.
Silakan Anda simak uraiannya sampai selesai. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Allah
Menghendaki Agar Kita Berserah Diri Total Pada-Nya
Sebagai orang Beriman dan Berakal, dalam
menyikapi wabah Virus Corona yang menyerang belahan dunia ini, termasuk
dibeberapa wilayah Negara Indonesia ini, haruslah dengan penuh keyakinan bahwa
pandemi ini terhadi atas kehendak dan kebesaran Allah swt.
Marilah kita ambil hikmah dan pembelajaran di balik wabah Virus Corona ini. Kita harus meyakini, Virus Corona ini merupakan bahagian dari ciptaan Allah swt yang mengandung hikmah dan pelajaran bagi kita selaku hamba-Nya. Di dalam Al Qur’an Allah menjelaskan bahwa “Tidaklah Allah menciptakan/menjadikan sesuatu itu sia-sia melainkan ada hikmahnya” (QS.Ali Imran ayat 191).
Karena itulah, kita harus menyadari bahwa Allah
menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini atas kehendak (Iradat) dan takdir-Nya. Allah pun mempunyai maksud serta hikmah
didalamnya. Dan kita sebagai ummat-Nya yang beriman dan mempercayai adanya Qadha
dan Qadar,
kita harus mencari tahu hikmah atas segala apa yang sudah Allah takdirkan dan
melihatnya dengan kacamata keimanan yang kita miliki.
Allah SWT telah berfirman dalam surah
Al-Baqarah ayat 269 yang berbunyi : “
Allah menganugrahkan Al-Hikmah atau (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan
As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang di anugerahkan
karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal lah yang dapat
mengambil dari Firman Allah SWT”.
Allah SWT menciptakan manusia dengan
sebaik-baik bentuk juga sebaik-baik akal. Dan kita sebagai umat Islam wajib
untuk berpikir dan mengambil hikmah yang terjadi dan hikmah yang tersembunyi
dibalik adanya segala sesuatu hal, baik itu yang bersifat terang-terangan atau
segala hal yang bersifat tersembunyi.
Contohnya adalah wabah virus Corona dan resesi
ekonomi yang sedang terjadi diantara kita semua. Hikmah yang paling besar
adalah bahwasanya dengan ini kita menjadi semakin sadar bahwa betapa rapuhnya
kita dihadapan Kuasa Allah, Sang Pencipta langit, bumi dan seisinya.
Disadari atau tidak, selama ini hal utama yang
seringkali membawa kita jatuh ke dalam dosa adalah karena sikap kita yang angkuh.
Kita merasa bahwa diri kita mampu mengendalikan segala sesuatu. Namun, saat
ini, mau tidak mau kita harus mengakui betapa rapuhnya diri kita dihadapan
makhluk kecil bernama virus Corona. Pendemi covid -19 sangat menguras tenaga
dan fikiran setiap individu karena untuk menjaga nyawa dan bertahan hidup harus
berjuang dengan istiqomah dan berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT tiada henti.
Jadi, hikmah terbesar yang dapat kita petik
dari berbagai musibah dan kesulitan ekonomi sepanjang tahun 2020 adalah
bangkitnya Kesadaran Diri bahwa solusi atas segala masalah dan penyakit
yang kita sedang atasi adalah dengan Berserah Diri pada Allah Yang Maha
Berkehendak dan Maha Kuasa. Kita tidak pernah tahu apa yang Allah SWT
rencanakan untuk kehidupan kita. Akibat ketidaktahuan inilah, tak heran bila banyak
peristiwa buruk menimpa kita.
“(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang
menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala
pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati ”.
(Al-Baqarah ayat 112).
Allahmenghendaki penyerahan diri yang total dan
sebagai gantinya Dia akan memberikan kita kekuatan ruhani yang bisa mengubah
segala situasi. Penyerahan diri secara total kepada Dia Yang Ilahy akan membawa
kita pada kesempurnaan jati diri yang paling paripurna.
Karena Allah menciptakan manusia untuk tujuan-tujuan yang telah digariskan-Nya,
bukan tujuan kita sebagai manusia – yang fana.
Tawakal,
Kunci Keberhasilan Yang Sering Dilalaikan
Banyak orang yang salah memahami dan
menempatkan arti tawakal yang sesungguhnya. Sehingga tatkala kita mengingatkan
mereka tentang pentingnya tawakal yang benar dalam kehidupan manusia, tidak
jarang ada yang menanggapinya dengan ucapan: “Iya, tapi kan bukan cuma tawakal
yng harus diperbaiki, usaha yang maksimal juga harus terus dilakukan!”.
Ucapan di atas sepintas tidak salah, akan
tetapi kalau kita amati dengan seksama, kita akan dapati bahwa ucapan tersebut
menunjukkan kesalahpahaman banyak orang tentang makna dan kedudukan yang
sesungguhnya. Karena ucapan di atas terkesan memisahakan antara tawakal dan
usaha. Padahal, menurut penjelasan Guru Mursyid kita, Allahyarham, H. Permana
Sasrarogawa, Berserah Diri (Tawakal)
adalah bagian dari usaha, bahkan usaha
yang paling utama untuk meraih keberhasilan.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tawakkal kepada Allah adalah termasuk sebab yang paling kuat untuk
melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezhaliman dan permusuhan orang
lain yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Allah akan memberikan kecukupan
kepada orang yang bertawakkal kepada-Nya. Barangsiapa yang telah diberi
kecukupan dan dijaga oleh Allah Ta’ala maka tidak ada harapan bagi
musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakannya. Bahkan dia tidak akan ditimpa
kesusahan kecuali sesuatu yang mesti (dirasakan oleh semua makhluk), seperti
panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang diinginkan musuhnya maka
selamanya tidak akan menimpanya. Maka (jelas sekali) perbedaan antara gangguan
yang secara kasat mata menyakitinya, meskipun pada hakikatnya merupakan kebaikan
baginya (untuk menghapuskan dosa-dosanya) dan untuk menundukkan nafsunya, dan
gangguan (dari musuh-musuhnya) yang dihilangkan darinya.”
Berserah Diri atau Bertawakal, pada Allah itu sebenarnya bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Jika manusia terus belajar mengasah dan menempa kehidupannya hanya selalu menghamba pada Pemilik Kehidupan, tingkat kepasrahan dengan yang maha memiliki Kehidupan mengalir begitu saja.
Jadi, sesungguhnya berserah diri itu adalah
pengejawantahan janji kita dalam shalat : “Aku
menghadapkan wajahku kepada Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi dengan
segenap kepatuhan dan kepasrahan diri, dan aku bukanlah termasuk orang orang
yang menyekutukanNya. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku
hanyalah kepunyaan Allah, Tuhan semesta alam, yang tiada satu pun sekutu bagi-Nya.
Dengan semua itulah aku diperintahkan dan aku adalah termasuk orang orang yang berserah diri.” (HR. Shohih Muslim).
“Sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam” (Q.S
al-An’ām : 162).
Allah menegaskan dalam firman-Nta “Dan barangsiapa yang bertawakal (berserah diri) kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya”. [Ath-Thalaq : 3]. Yaitu yang mencukupinya,
Ar-Robi’ bin Khutsaim berkata : “Dari
segala sesuatu yang menyempitkan (menyusahkan) manusia.” (Hadits Riwayat
Bukhari bab Tawakal 11/311).
Ibnul Qayyim berkata : “Allah adalah yang mencukupi orang yang bertawakal kepadanya dan yang
menyandarkan kepada-Nya, yaitu Dia yang memberi ketenangan dari ketakutan orang
yang takut, Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong dan
barangsiapa yang berlindung kepada-Nya dan meminta pertolongan dari-Nya dan
bertawakal kepada-Nya, maka Allah akan melindunginya, menjaganya, dan
barangsiapa yang takut kepada Allah, maka Allah akan membuatnya nyaman dan
tenang dari sesuatu yang ditakuti dan dikhawatirkan, dan Allah akan memberi
kepadanya segala macam kebutuhan yang bermanfa’at.” (Taisirul Azizil Hamidh
hal. 503).
Jadi, Berserah diri adalah jalan yang terbaik manusia untuk dapat
menggapi tujuan hidup dunia dan akhirat, artinya segala sesuatu tentang
kehidupan ini di jalani dengan sabar dan iklas, tidak ada sesuatupun yang tidak
atas Asma Allah, dan tidak ada sesuatupun yang merasa dimiliki kecuali semua
milik Yang Maha Pencipta Allah SWT.
Berserah diri
berarti menyerahkan segala sesuatu hanya kepada Allah Ta'ala, dalam
arti luas seluruh aktivitas kehidupan yang mencakup ibadah, hidup dan mati, semua terserah Allah, akan tetapi bukan tidak bergerak dan berupaya
apa-apa, justru dengan berserah diri ini menjadi landasan vertikal manusia
untuk menjalankan roda kehidupanya atas dasar iman dan ketaqwaannya kepada Yang
Maha Esa. (az)