-->
logo

MEMPERJUANGKAN HAK MASYARAKAT ADAT SECARA HOLISTIK : BERGESER KE KWADRAN POLITIK

Hot News

Hotline

MEMPERJUANGKAN HAK MASYARAKAT ADAT SECARA HOLISTIK : BERGESER KE KWADRAN POLITIK


Jakarta, JENIUSLINE.-  “Ada yang menarik dari pepatah  ninik mamak kita di Minangkabau, yaitu kabau pai kubangan tingga (red-‘kerbau pergi kubangan tinggal’)". Hal ini, merupakan suatu perumpamaan atau analogi bila seekor kerbau meninggalkan kubangan, maka kubangan itu kembali kepada si pemilik kubangan. Maknanya, semasa Belanda menjajah, maka mereka “berkubang” di Tanah Ulayat Adat Nenek Moyang kita. Maka, ketika si penjajah angkat kaki dari Bumi Nusantara, seharusnya “kubangan” itu kembali kepada pemilik, yakni Pewaris Tanah Ulayat. 


Demikian disampaikan Ketua Dewan Perancang Pembentukan Partai Nusantara Bersatu KGPH Eko Gunarto Putro dalam Diskusi bertajuk   “Terkikisnya Tanah Adat di Bumi Nusantara” di Pendopo Al-Hikmah, Cikarang, Jawa Barat. “Tapi, ironisnya tanah ulayat itu tidak kembali Ke masyarakat adat, tetapi sudah beralih status menjadi tanah milik negara. Negara pun tidak memberikan kepada kita, tetapi kepada pemilik perusahaan perkebunan", imbuh Kangjeng Eko. 


Padahal, kata Kangjeng Eko, di Bumi Nusantara ini, berlaku hukum Adat tentang Tanah Ulayat. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai Ujar-ujar Pinjsepuh, pituah atau Falsafah yang menyatakan bahwa setiap jengkal tanah di  wilayah masyarakat adat, tidak ada yang tidak bertuan. “Namun mirisnya, sejak UU Pokok Agraria Dibekukan Rezim Soeharto, Hak Ulayat Tidak Diakui. Kemundian dikeluarkan UU no.5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan yang mengatakan kawasan hutan sebagai hutan Negara. Lalu yang terjadi hingga saat ini, antara 70-80 persen wilayah adat dikuasi oleh pihak lain. Menjadi perkebunan atau tambang batu bara,” tandasnya. 


Kangjeng Eko menegaskan, sampai saat ini pula tidak ada administrasi tentang Masyarakat Adat, sehingga tidak ada kantor administrasi yang mengurusi masyarakat adat dan Tanah Ulayat mereka secara nyata. Masyarakat adat hadir dihadapan negara kalau ada aspek pariwisatanya, karena hal ini menarik bagi Dinas Pariwisata. “Sementara itu, berbekal selembar HGU, HPH, Ijin Pertambangan dan lain sebagainya para konglomerat berpesta pora mengeksploitasi kekayaan hutan dan Tanah Ulayat. Sementara masyarakat Adat, hidup susah dalam kemiskinan dan terpinggirkan dalam pembangunan,” kata Kangjeng Eko dengan penuh keprihatinan.


Sebagai contoh Kangjeng Eko menyebutkan kasus yang terjadi di Mentawai. Dipaparkannya, sejak tahun 1970-an sampai hari ini, kayu di hutan-hutan Mentawai itu tidak terhitung jumlah batangnya yang telah diambil oleh oknum-oknum pemalak dari satu generasi hingga generasi berikutnya. 


“Tapi, tahukah kita pada tahun 2015, pemerintah atau presiden menetapkan Mentawai sebagai daerah tertinggal di Sumatera Barat. Padahal, sejak tahun 1970-an, kayu di sana diambil. Dibaca tentang undang-undang kehutanan, para pakar mengatakan bahwa kayu di hutan itu boleh diambil dan izin diberikan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” ungkapnya.


Menurut Kangjeng Eko, Sejak Soeharto lengser tahun 1998, masyarakat berbagai daerah dan etnis di Indonesia telah dengan terang-terangan dan vokal, bahkan kadang secara kasar menuntut penerapan adat setempat di daerah mereka masing-masing. “Selama Dua Puluh Dua tahun ini publik menyaksikan bagaimana gerakan masyarakat adat atau indegeneity di Indonesia sudah masif. Namun hasilnya, belum Signifikan. Tuntutan Masyarakat Adat atas Tanah Ulayat Warisan Nenek Moyang Masih terkatung-katung,” tegas Kangjeng Eko. 


Sehubungan dengan hal tersebut di atas,  KGPH Eko Gunarto Putro bersama kawan-kawan Seperjuangan dalam Membela Kaum Tertindas, Masyarakat Adat yang terpinggirkan serta Memberdayakan Umat yang Dhu’afa, memandang penting dan perlu untuk mendirikan Partai Nusantara Bersatu, sebagai alat perjuangan. “Pasalnya dalam memperjuangkan hak Masyarakat harus Holistik tidak bisa ekslusif. Maka harus bergeser ke Kwadran Politik,” katanya.


Jadi, menurut Kangjeng Eko Perlu diadakan Peningkatan Perjuangan Masyarakat Adat Lewat Politik. Masyarakat Adat perlu memperluas partisipasi politiknya hingga ke pusat-pusat pembuat kebijakan negara. Partai Politik adalah jalan untuk menuju perubahan. Tanpa Partai Politik tak akan ada perubahan. Maka, Masyarakat Adat harus Go Politic. Sehingga kader-kadernya dapat memperjuangakan kedaulatan Masyarakat Adat melalui perjuangan politik elektoral.


“Masyarakat Adat  go politik adalah bagaimana cara organisasi-organisasi masyarakat adat dan para Aktivis Pembela Kaum Tertindas mempergunakan alat perjuangannya yang bernama politik, agar dapat menempatkan kader – kader terbaiknya duduk di panggung perpolitikan di negara ini. Baik sebagai pelaku dan pelaksana didalam elit perpolitikan, mulai dari Legislatif, Yudikatif maupun Eksekutif, atau bahkan duduk di jabatan – jabatan strategis lainnya,” pungkas Kangjeng Eko. (az).

This blog is created for your interest and in our interest as well as a website and social media sharing info Interest and Other Entertainment.