-->
logo

MDA CARE : Mencegah Dampak Resesi Ekonomi pada Kesehatan Mental

Hot News

Hotline

MDA CARE : Mencegah Dampak Resesi Ekonomi pada Kesehatan Mental

SKJENIUS.COM, Jakarta.— SUBHANALLAH! Indonesia hampir pasti mengalami resesi Ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020, diperkirakan masih minus karena ruang gerak ekonomi yang belum begitu pulih. Pada kuartal II-2020, ekonomi Indonesia anjlok hingga minus 5,32%. Ekonomi di kuartal III-2020 juga diperkirakan masih minus. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Indonesia, Febrio Kacaribu mengatakan pertumbuhan ekonomi diproyeksikan  masih tumbuh negatif yakni minus 2,9 hingga -1,0 persen.  

Beberapa analis mengatakan, resesi yakni kondisi ketika pertumbuhan ekonomi suatu negara terkontraksi selama dua kuartal berturut-turut. Melansir dari Forbes, resesi adalah kondisi di mana terjadi penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. 

Lantas, jika resesi betul terjadi apa dampak bagi masyarakat serta apa saja yang perlu dipersiapkan?

Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda mengatakan salah satu dampak yang mungkin saja timbul dari terjadinya resesi adalah meningkatnya jumlah pengangguran.

Ia menyebut, banyaknya pengangguran muncul akibat produksi merosot seiring turunnya permintaan agregat masyarakat yang kemudian berdampak pada banyaknya usaha yang tutup maupun gulung tikar. “Dampak dari resesi bersifat saling terkait dan ada efek bola salju (menggelinding dan membesar),” kata Huda dihubungi Kompas.com Selasa (22/9/2020).

Dengan demikian, rakyat Indonesia harus siap-siap hadapi resesi ekonomi dengan segala dampak negatif yang ditimbulkannya. Pasalnya, selain dampak mengerikan Efek Dominonya Terhadap Kegiatan Ekonomi, Resesi  pun Berdampak Besar Pada Kesehatan Mental Masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian  King College, London, ternyata resesi  ekonomi yang melanda seluruh Eropa telah berdampak mendalam pada warga dengan masalah kesehatan mental.

Dalam kurun  tahun 2006 dan 2010, tingkat pengangguran tinggi, menimbulkan masalah kesehatan mental meningkat  dari 12,7 persen menjadi 18,2 persen. Orang-orang dengan tingkat pendidikan yang rendah sangat terpengaruh kondisi tersebut, kata studi tersebut.

Akibat resesi ekonomi, diperkirakan banyak usaha gulung tikar yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja. Belum lagi penularan virus masih terjadi sehingga masyarakat harus di rumah saja. Bahkan, kini pemerintah memperketat kebijakan protokol kesehatan dengan memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di wilayah tertentu Dengan begitu, praktis ruang gerak kita pun semakin terbatas. 

Di tengah masa social distancing  yang tak kunjung usai serta pandemi yang belum berakhir, kita memang perlu menghadapinya dengan tetap tenang dan jangan panik. Sayangnya, tidak semua individu siap dan dapat beradaptasi dengan situasi ini. Kondisi itu tentu tidak mudah bagi banyak orang hingga menimbulkan kecemasan, kekhawatiran dan stres. 

Padahal, stres dan khawatir yang berlebihan akan mempengaruhi kesehatan mental ataupun kejiwaan seseorang, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan fisik. Maka, sangat mudah dipahami jika situasi sekarang ini menimbulkan berbagai gangguan kesehatan mental seperti mudah terbawa emosi, cemas, bahkan depresi.

Orang-orang yang mengalami kesulitan keuangan, terkait perumahan, atau pekerjaan sebagai akibat dari Resesi Hebat lebih cenderung menunjukkan peningkatan gejala depresi, kecemasan, dan penggunaan narkoba yang bermasalah, penelitian menunjukkan.  Temuan penelitian yang diterbitkan dalam Clinical Psychological Science, sebuah jurnal dari Association for Psychological Science, mengungkapkan penurunan kesehatan mental yang masih terlihat beberapa tahun setelah resesi resmi berakhir.

Karena itu, menjaga kesehatan jiwa juga sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik di masa resesi di tengah jepitan pendemi ini. Bahkan organisasi kesehatan dunia (WHO) menyebut konsep sehat bukan hanya terbebas dari penyakit secara fisik, tapi juga meliputi kondisi sehat mental dan sosial. Sedangkan, UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

A Spiritual Response to the Recession

Sebelum terjadinya prahara virus corona yang menyebabkan darurat kesehatan dan krisis ekonomi di berbagai belahan dunia, kita menyaksikan fenomena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang luar biasa. Namu ironisnya kemajuan sains dan teknologi yang seharusnya mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mereka, ternyata belum mampu mewujudkan kebahagiaan yang sebenarnya.

Adanya persaingan yang sangat kompetitif dapat membawa manusia mudah frustasi dan stress. Pola hidup materialisme dan hedonisme menjadi karakter masyarakat modern dan apabila tidak lagi mampu menghadapi persoalan hidupnya, mereka cenderung mengambil jalan pintas dengan melakukan penyimpangan atau bahkan bunuh diri sebagai bentuk sikap putus asa.

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengungkap wawasan putus asa masyarakat modern ketika mengahadapi hantaman pandemi Covid-19 dan ancaman krisis ekonomi  yang telah menjebloskan Negara-negara Kapitalis Amerika Serikat dan sekutunya serta negara-negara kapitalis di Eropa ke Jurang Resesi. Bahkan, Ketua panel sains Uni Eropa, Mauro Ferrari mengundurkan diri karena frustasi dengan beban krisis virus corona atau Covid-19. Padahal, Ferrari baru menjabat sebagai ketua Dewan Penelitian Eropa pada 1 Januari lalu.

Sementara itu, sejak awal pandemi virus corona, sejumlah menkes di beberapa negara ada yang mengundurkan diri. Mereka merasa tidak mampu mengatasi lonjakan kasus corona. Setidaknya tercatat 12 menteri kesehatan yang akhirnya lempar handuk karena Gagal Tangani Corona, yaitu Mekes Republik Ceko, Pakistan, Polandia, Kazkhatan, Kirgistan, Rumania, Belanda, Ekuador, Selandia Baru, Brazil, Chili,

Karena itulah, melalui tulisan ringkas ini saya ingin mengajak para pemirsa untuk mengambil solusi dari Al-Qur'an menurut para mufassir, serta ajaran Spiritual Islam sebagaimana dikembangkan oleh para Guru Mursyid kita  mengkontekstualisasikan penafsiran pada krisis kesehatan dan ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat modern ini. Jadi, tulisan ini adalah Respon Spiritual terhadap Resesi (A Spiritual Response to the Recession) dalam perspektif Tasawuf Transformatif.

Saya ingin menyampaikan  perspektif yang sangat berbeda dengan pembahasan para ekonom pada umumnya tentang resesi ekonomi. Saya berusaha menyajikan dan menjelaskan di mana titik-titik persimpangan dan pertemuan antara spiritualitas dan krisis keuangan. Sehingga kita bisa menyadari bahwa keputusan individu atau kolektif kita dalam menanggapi krisis keuangan memiliki komponen spiritual.

Artikel ini sebagian besar didasarkan pada pengukuran ilmiah pada topik spiritualitas dan ekonomi. Saya ingin memaparkan bahwa urutan krisis kesehatan, ekonomi, politik dan pribadi, yang sering kali bertepatan, dan di mana wawasan atau kesalahan spiritual mendorong orang untuk membuat keputusan penting, baik atau buruk, tentang pribadi dan kesalahan mereka terhadap masa depan masyarakat. 

Disadari atau tidak, pada hakikatnya bahwa di sisi lain, di dunia dewasa ini individu tidak hanya mengalami krisis materi tetapi juga krisis spiritual yang berdampak pada identitas.  Saat-saat krisis adalah saat-saat ujian bagi kecerdasan spiritual seseorang, dia akan putus asa dan mungkin mengambil tindakan putus asa, atau menyadari bahwa selalu ada solusi spiritual untuk berbagai problema kehidupan. Namun dia harus belajar cara mengakses-Nya.

Karena itulah diperlukan Respon Spiritual yang tepat terhadap Resesi. Pasalnya, langkah yang tidak hati-hati dapat menimbulkan masalah pada jati diri, jiwa, dan diri yang berakibat krisis pada komponen-komponen penting dari seorang individu. 

Untuk menghindari kemunduran dan ketidakberuntungan, iman atau kepercayaan pada Kekuatan Ilahiyah harus dipelajari dengan aspek pemecahan masalah mereka di saat-saat krisis.  Maka, persepsi kita tentang spiritualitas dan cara kita menggunakannya dalam menghadapi krisis sangat menentukan survive tidaknya kita mengatasi resesi ini. Untuk itu,  diperlukan upaya pembangkitan  energi spiritual agar dapat dimanfaatkan sebagai senjata pamungkas yang ampuh agar bebas dari resesi dan pandemi Covid-19.

What Allah Wants Us to Learn from this Recession

Nabi Adam a.s dan Hawa, Nuh a.s, Daud a.s, Sulaiman a.s, Ibrahim a.s dan Ismail a.s, Yusuf a.s, Musa a.s, Isa a.s, Muhammad SAW, hanya untuk beberapa nama, semua dihadapkan pada krisis yang harus mereka atasi. Karena itulah, Perspektif Al-Qur'an dan Respons Spiritual yang Kita Semua Butuhkan di Saat Baik dan Buruk!

Allah memiliki tujuan.  Dia punya alasan untuk membiarkan resesi ini datang ke Indonesia.  Tidak diragukan lagi Dia memiliki banyak tujuan, tetapi pasti satu diantara tujuan utama-Nya adalah pertumbuhan rohani hamba-Nya.  Jika kita melewatkan apa yang Dia ingin ajarkan kepada kita, kita hanya akan menjadi sinis dan mulai meragukan kasih dan perhatian-Nya.

Pelajaran pertama yang paling jelas: Dia ingin kita belajar bahwa Dia bersama kita tidak hanya selama kemakmuran tetapi juga di saat-saat sulit. Sebagaimana Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman kepada Musa dan Harun, “Allah berfirman, ‘Janganlah kalian berdua takut, sesungguhnya Aku bersama kalian, Aku mendengar dan melihat.” (QS Thahaa:46)

Nabi Yusuf a.s, sebelum menjadi Rasul, dibuang dan dijual oleh saudaranya, sehingga menjadi budak orang Mesir. Kita membaca dalam Al-Qur'an bahwa Allah menyertai dia ketika dia ditinggikan di Mesir;  kita juga membaca bahwa Allah  menyertai dia ketika dia dituduh secara tidak adil dan dijebloskan ke dalam penjara.

Kisah Nabi Yusuf tertulis secara khusus dalam Al-Qur'an surat 12. Allah telah mengaruniakannya ilmu dan pengetahuan, dan telah mengangkatnya dari dalam sumur (tempat yang paling dasar) menuju singgasana (tempat tertinggi).

Nabi Musa a.s pun memetik pelajaran serupa.  Beliau harus melewati berbagai macam rintangan, bahkan sejak hari kelahirannya, sebelum akhirnya benar-benar menerima mandat sebagai orang yang diutus oleh Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan, misalnya: hampir dibunuh ketika ia masih bayi, dikejar-kejar oleh Firaun, sampai harus menjalani hidup sebagai gembala di tanah Madian selama 40 tahun.

Kemudian, Allah SWT memberikan Mu'jkzat kepada Musa, kemampuan untuk membelah Laut Merah dengan tongkatnya sehingga utusan Allah itu bisa melintasinya bersama para pengikutnya. Musa dan pengikutnya menyeberangi Laut Merah untuk menghindari kejaran dari Fir'aun dan pasukannya. Seizin Allah, rombongan Musa berhasil melalui laut yang dalam itu. Laut kembali menutup dan Fir'aun bersama pasukannya pun tenggelam ditelan Laut Merah. Kisah itu dengan jelas tertulis dalam Al-Qur'an maupun Alkitab.

Demikian juga dengan penderitaan yang dialami Nabi Muhammad SAW, beliau sudah yatim sejak dalam kandungan dan menjadi piatu pada usia 5 tahun. Bahkan, Umar bin Khattab r.a sampai Menitikan Air Mata Melihat Penderitaan Nabi SAW.

Rasulullah pun pernah mengalami kesulitan ekonomi karena diboikot. Kesulitan yang dihadapi Rasul dan Bahkan para sahabat beliau digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai berikut,

"Mereka ditimpa kesulitan dan kesempitan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah : 214).

Namun, akhirnya Rasulullah dapat mengeluarkan Umat Islam dari Kegelapan kepada Cahaya yang terang benderang. Michael Hart dalam bukunya "The 100" Menempatkan Nabi Muhammad SAW Sebagai Tokoh No.1 Paling Berpengaruh di Dunia. Rasullah dianggap sukses luar biasa baik jika ditilik dari sudut agama maupun duniawi.

Jadi, yakinlah Allah menyertai kita dalam kemakmuran dan kemiskinan;  Dia bersama kita saat kita bisa membayar hipotek kita dan saat kita tidak bisa.

Kedua, saya setuju dengan Kyai Ageng Khalifahtullah Malikaz Zaman, yang mengatakan bahwa dalam resesi ini, "Allah bermaksud untuk menyingkapkan dosa yang tersembunyi dan membawa kita pada pertobatan dan penyucian." 

Selama ini kita telah terperangkap oleh cengkeraman Sistem Ekonomi Kapitalis dan juga mulai memasuki jeratan jebakan utang (debt trap) Cina Komunis. Karena itu, saya pun sepakat dengan Sandiaga Uno yang mengatakan, "Pandemi Covid-19 Ini Jadi Pengingat Ekonomi Kita yang Terlalu Kapitalis!"

Sandiaga berharap pandemi ini dapat mengubah portfolio serta prinsip ekonomi yang saat ini menurutnya lebih cenderung ke arah ekonomi berbasis kapitalis. "Melalui pandemi ini, bisa jadi pengingat kita, mungkin ekonomi kita yang saat ini terlalu kapitalis yang pertumbuhannya dari dulu terus naik dan naik namun diakibatkan pandemi, pertumbuhannya malah tidak berkelanjutan,” tukasnya.

Karena itu, marilah kita bertobat dan menjadikan resesi ini sebagai momentum titik balik (turning point) kembali ke Jati Diri bangsa yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan mengembangkan Sistem Ekonomi Pancasila.

Ketiga, Allah ingin kita masuk ke dalam pengalaman orang beriman dan berakal di seluruh dunia yang tidak mengetahui apa-apa selain resesi yang paling buruk.  Sebagian besar dunia berjuang untuk makanan sehari-hari;  ribuan-ya ribuan-anak-anak meninggal setiap hari karena kekurangan gizi.  Jutaan umat Islam di negara-negara di mana ada penindasan, penganiayaan, dan tidak ada sistem pendukung di saat krisis. 

Sebagian besar dari kita telah kehilangan sebagian besar pendapatan pensiun kita, tetapi kita masih memiliki makanan di atas meja dan tempat untuk tidur di malam hari.  Marilah kita mulai berempati dan berdo'a untuk saudara-saudari kita yang hidup dalam kemelaratan, dengan sedikit harapan hidup seperti yang kita ketahui.

Keempat, Allah sedang mengajari kita bagaimana mencintai dan peduli lebih dalam.  Kita tidak bisa lagi tinggal di rumah kita dan acuh tak acuh terhadap mereka yang kehilangan pekerjaan.  Keluarga sedang belajar untuk saling mendukung dan hidup dengan satu sama lain saat rumah ditutup, dan pekerjaan hilang.

Akhirnya, sekaranglah saatnya bagi kita untuk kembali mendalami dan mendayagunakan spiritualitas. Pasalnya spiritualitas sekarang ini sering dilupakan bahkan oleh dunia agama sendiri yang katanya adalah bapak dari spiritualitas. Padahal, spiritualitas adalah cara untuk menjadi manusia yang utuh.

Aktifitas ekonomi, bisnis, politik dan berbagai aktifitas lainnya jika didalamnya tidak terdapat spiritualitas maka hasil akhirnya akan mengalami kerusakan dan kehancuran. Maka mustahil, kita akan bisa membangun manusia Indonesia seutuhnya, jika unsur spiritualitas diabaikan.

Bagaimana manusia mencapai keutuhan itu, yang pastinya tidak akan hanya berdiam dan berkutak-katik dalam dimensi materialitik dan eksklusif apalagi hedonistik, tapi mempertimbangkan dan juga mengembangkan sisi akal dan hati manusia serta spiritualitas yang dengannya akan tercapainya sebuah kesempurnaan.

Semoga  Allah memberi hidayah kepada kita semua, mudah-mudahan kita dapat mengambil hikmah dibalik resesi ekonomi di tengah Prahara Covid-19 ini. Sehingga kita bisa menyusun langkah ke masa depan yang lebih baik lagi. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin ! (az).

 


 

 

 


This blog is created for your interest and in our interest as well as a website and social media sharing info Interest and Other Entertainment.