-->
logo

Quo Vadis Perlindungan Korban Kekerasan Seksual

Hot News

Hotline

Quo Vadis Perlindungan Korban Kekerasan Seksual

https://pbs.twimg.com/media/EbzikL2UEAE57_T?format=jpg&name=medium

Polewali, SKJENIUS.COM,- Sebanyak 16 RUU dari daftar prolegnas prioritas resmi dicoret oleh DPR dengan alasan pandemi Covid-19 tidak dimungkinkan untuk membahas semua RUU prioritas tersebut dan masih dapat diusulkan kembali dalam prolegnas 2021. Hal ini tentu mendapat sorotan langsung dari publik karena salah satu RUU yang dicoret adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Kebijakan ini justru semakin menunjukkan ketidakseriusan Pemerintah dalam mewujudkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual karena RUU PKS yang pertama kali diajukan pada tahun 2017 nyatanya tidak menemui titik akhir pembahasan hingga paruh tahun 2020. 

Kehadiran berbagai RUU yang dianggap problematik seperti RUU Minerba, Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU Haluan Ideologi Pancasila tentu semakin membingungkan publik tentang manakah yang didahulukan oleh Pemerintah apakah suara rakyat (publik) atau hanya suara sekelompok orang. Adi Prayitno Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menerangkan bahwa RUU PKS dianggap tidak “seksi” oleh DPR, justru yang seksi bagi DPR ialah RUU Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja yang menyangkut suatu hal yang “basah” seperti didalamnya ada bisnis, ekonomi, kemudian ada kepentingan pengusaha. 

Politik hukum pembentukan RUU PKS ialah dengan berpihak pada korban dan pemulihan hak-hak korban. Hal ini sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan. Meskipun UUD NRI Tahun 1945 telah menegaskan hak ini sebagai salah satu hak konstitusional, namun tidak setiap warga bebas dari kekerasan, termasuk didalamnya kekerasan seksual. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat jumlah perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap tahunnya meningkat. Kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Kekerasan ini terjadi di ranah domestik (rumah tangga dan dalam relasi intim lainnya), di wilayah publik dan juga dalam relasi warga dengan negara. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa kekerasan seksual merupakan salah satu dari bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi. Dalam rentang waktu 2001 sampai dengan 2011, kasus kekerasan seksual rata-rata mencapai seperempat dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Berdasarkan data CATAHU 2020 pada 2018 jumlah perempuan korban kekerasan seksual sebanyak 406,178 orang dan pada 2019 meningkat dengan angka 431,471 orang. Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800%), artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 12 tahun meningkat hampir 8 kali lipat. 

Menurut Dian Novita, Staf Advokasi Kebijakan LBH APK kekerasan seksual sulit untuk diselesaikan, semakin lama RUU ini dibahas maka semakin lama ketidakadilan bagi korban kekerasan seksual. Diusulkannya RUU PKS merupakan upaya perombakan sistem hukum sekaligus respon untuk mengatasi kekerasan seksual yang sistemik terhadap perempuan. RUU PKS merupakan terobosan agar hukum mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan korban kekerasan karena RUU ini pun didasarkan pada kajian terhadap pengalaman-pengalaman korban kekerasan dan bagaimana mereka menghadapi proses hukum. Sehingga wajar bila publik dibayangi dengan pertanyaan bagaimana arah penegakan hukum terhadap korban kekerasan seksual?

Indirwan, S.H.,



This blog is created for your interest and in our interest as well as a website and social media sharing info Interest and Other Entertainment.