-->
logo

RECESSION inspire the faithful : Kebangkitan Sistem Ekonomi Pancasila Berbasis Spiritual

Hot News

Hotline

RECESSION inspire the faithful : Kebangkitan Sistem Ekonomi Pancasila Berbasis Spiritual

 

SKJENIUS.COM, Cikarang.- MIRIS! Sampai akhir 2019, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia GAGAL MEROKET 7 %, malahan makin memburuk. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2019 mentok di 5,02%, melambat dibanding tahun sebelumnya sebesar 5,17%. Bahkan, Ekonomi RI Makin Melambat pada Kuartal IV 2019 Hanya Tumbuh 4,97%. Kemudian Tersungkur pada Kuartal I 2020 Tersungkur, hanya mencapai 2,97 persen. Akhirnya Anjlok pada Kuartal II-2020, Minus 5,32 Persen. Indonesia pun mendekati Jurang Resesi!

Menurut Pakar Finansial Ahmad Gozali, dampak resesi ekonomi, terutama pada masyarakat kelas bawah adalah tingkat pengangguran yang bertambah. Produksi dalam negeri berkurang otomatis lapangan kerja juga berkurang. Hal ini menyebabkan naiknya angka kemiskinan.

Selain itu, resesi juga bisa menyebabkan deflasi atau penurunan harga, tapi resesi yang berkelanjutan justru menyebabkan hyper inflasi (kenaikan harga sangat tinggi). Gozali mengatakan, hal ini juga akan berdampak sangat berat bagi masyarakah menengah ke bawah. "Pekerjaan makin sulit, dan harga-harga yang melambung naik," kata Gozali kepada Kompas.

Jadi, mau tidak mau, rakyat kecil harus lebih mengencangkan ikat pinggang, berhemat dan menata keuangan sebaik mungkin. Pasalnya, entah kapan ekonomi Indonesia akan kembali pulih setelah porak-poranda ini, tidak ada yang bisa memprediksi. Apalagi pandemi corona belum terlihat tanda-tanda akan melandai.

Dampak resesi memang mengerikan! Pasalnya, Jika resesi terjadi dalam waktu singkat, mungkin perekonomian suatu negara lebih mudah untuk kembali bangkit. Namun, jika resesi terjadi berkepanjangan, kehilangan output menjadi lebih buruk. Bukan mustahil, Indonesia akan masuk ke jurang depresi.

Namun demikian, di sisi lain ancaman resesi ini membuat semakin banyak orang yang menyadari kerapuhan sistem ekonomi sekuler kapitalis dan Sosialis yang mencengkeram perekonomian dunia saat ini. Pasalnya, Krisis ekonomi terulang lagi pada 2020 yang menimpa kawasan Eropa dan Amerika Serikat serta Asia  dan hingga kini kawasan itu belum mampu bangkit akibat terjangan krisis. Belum berakhirnya krisis yang menimpa kawasan Eropa dan Amerika Serikat mengindikasikan bahwa ekonomi yang selama ini dibangun belum mampu menyelesaikan persoalan ekonomi itu sendiri.

Padahal, lahirnya sistem kapitalisme dan sosialisme pada zaman itu dianggap bisa menjawab semua problematika kehidupan manusia. Namun seiring perkembangan zaman, kedua sistem tersebut terus mengalami krisis kepercayaan dari para pengikutnya akibat tidak mampu memenuhi harapan masyarakat dalam memperoleh kesejahteraan.

Lonceng Kematian Kapitalis dan Sosialis

Sebagaimana kita ketahui, saat ini, negara yang disebut sebagai Super Power, Amerika Serikat sedang terperosok di jurang resesi, menyusul Korea Selatan, Singapura dan Jepang. Demikian juga negara-negara kapitalis besar di Eropa seperti Inggris, Italia, Prancis, Jerman, Portugal dan Spanyol. Setidaknya sudah 45 negara terjungkal ke jurang resesi. Bertambah lagi negara yang masuk jurang resesi. Kali ini Selandia Baru. Negara yang tergolong mampu mengendalikan corona itu kini jatuh ke jurang resesi. Ini seiring dengan diumumkanya data terbaru perekonomian oleh badan statistik setempat.

Krisis perekonomian global yang terjadi saat ini telah membuka kesadaran kolektif kita akan kelemahan sistem ekonomi konvensional (baca: kapitalis-sosialis). Keduanya sering dihadapkan pada permasalahan pelik yang diakibatkan oleh krisis ekonomi. Karena itulah tidak sedikit para pakar ekonomi yang mengatakan bahwa sistem ekonomi kapitalis-sosialis telah lama mengalami kegagalan. Sehingga lonceng kematian kapitalis dan Sosialis pun semakin kuat terdengar.

Seiring dengan itu, muncul pertanyaan yang muncul apa sebenarnya yang menyebabkan krisis ekonomi terus-menerus terjadi. Bahkan negara Adidaya Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa porak-poranda dihantam resesi? Dan apakah tidak ada sistem ekonomi yang imun menahan terjangan krisis tersebut? Jawabannya adalah karena sistem ekonomi yang selama ini diagung-agungkan mengenyampingkan etika dan moral. Motif untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya telah membutakan para kapitalis sehingga yang terjadi adalah krisis ekonomi yang berkepanjangan dan “penjajahan” ekonomi terhadap negara-negara miskin.

Karena absennya moral dalam kapitalisme, maka yang terjadi adalah kegiatan ekonomi yang penuh dengan manipulasi demi mengejar keuntungan semata. Kegiatan ekonomi tidak lagi didasarkan pada prinsip-prinsip moral. Bahkan lebih parah lagi moral dianggap sebagai penghalang.

Sebagaimana kita ketahui sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme yang berakar dari materialisme itu memfokuskan paradigma di mana ekonomi ditempatkan sebagai panglima. Pada satu sisi terjadi kemajuan pembangunan fisik yang luar biasa. Namun di sisi lain kehancuran dan ancaman kelangsungan kehidupan manusia juga di hadapan mata. Praktis, krisis tidak lagi semata berkutat pada sektor keuangan, tapi lebih dari itu krisis juga merambah sektor ekologi dan lingkungan.

Dari sinilah kita berpikir untuk mencari sebuah sistem ekonomi alternatif yang lebih berkeadilan dan menyejahterakan seluruh rakyat secara merata. Mungkin tidak berlebihan jika pilihan terbaik untuk menggantikan sistem ekonomi konvensional adalah Ekonomi Pancasila yang didasarkan pada prinsip spiritual Nusantara dan Religius.

Ekonomi Pancasila Berbasis Spiritual sebagai Mainstream Ekonomi RI

Menurut pendiri Grameen Bank, Muhammad Yunus, konsep bisnis kapitalis menjebak kita menjadi manusia yang monodimensial, yang tujuannya semata-mata memaksimalkan profit. Pengusaha, apalagi para karyawannya tak lebih dari sekadar mesin pencari laba.

Paradigma itulah, yang mencabut dimensi politik, emosional, sosial, spiritual, dan kepekaan lingkungan dari diri seorang pengusaha. Awalnya mungkin cuma semacam simplifikasi yang reasonable, tetapi pada perkembangan selanjutnya sudah mengikis hal yang paling esensial dari kehidupan seorang manusia.

Padahal, manusia adalah ciptaan menakjubkan, atau paling menakjubkan, dengan kemampuan dan kualitas yang sesungguhnya tidak terbatas. Konstruksi teoritikal kita mestinya menyediakan ruang yang cukup, bagi mekarnya kualitas itu, bukan malah menyingkirkan dan mengebirinya.

Para ahli filsafat memandang manusia adalah makhluk yang berpikir dan bertindak berdasarkan akal sehat. Karena sifatnya yang berpikir, manusia cenderung bersosialisasi dan berkumpul (zoonpoliticon).

Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adalah tercermin dari jiwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuatan potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan atau menjauhi Tuhan, dengan kata lain melaksanakan kebaikan atau kejahatan. Kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.

Secara fitrah manusia menginginkan “kesatuan dirinya (manunggal)” dengan Tuhan, karena itulah pergerakan dan perjalanan hidup manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan mendekat kepada Sang Pencipta. Tujuan mulia itulah yang akhirnya akan mengarahkan dan mengaktualkan potensi dan fitrah tersembunyi manusia untuk digunakan sebagai sarana untuk mencapai “spirituality progress”.

Karena itulah ruh spiritual sebagai pegangan fundamental tidak hanya direali­sasikan dalam pola hubungan vertikal dengan Tuhan. Spiritualisme mesti dilaksanakan secara horisontal untuk kehidupan duniawi, termasuk dalam bidang ekonomi.

Karena itulah, seharusnya Sistem Ekonomi Pancasila Berbasis Spiritual Dikembangkan sebagai Mainstream Ekonomi RI. Pasalnya, bangsa Indonesia adalah Pewaris Budaya Spiritual Nusantara dan Masyarakatnya Religius. Ekonomi Spiritual adalah sebuah sistem ekonomi yang berbasiskan spritualisme atau agama, sehingga melahirkan tata perekonomian yang juga melibatkan norma dan moral sekaligus, dalam tataran pelaksanaan perekonomian bangsa dan negara.

Spiritual Economics: The Principles and Process of True Prosperity

Resesi Ekonomi yang melanda dunia saat ini, membuka segala kebobrokan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang sekuler. Karena itu, marilah kita jadikan resesi ekonomi ini sebagai titik balik (turning point) pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan kembali ke Jati Diri bangsa yang berdasarkan Pancasila. Pancasila adalah Ideologi non-sekuler, karena Pancasila mengakui peran penting agama dalam negara Indonesia, tepatnya pada pasal pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Maka dari itu, marilah kita sadari bahwa Pendekatan Ekonomi Sekuler yang mencoba memisahkan ajaran agama dengan urusan dunia tidak akan pernah mungkin berhasil diterapkan pada sebuah komunitas masyarakat atau bangsa yang masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap Ketuhanan yang Maha Esa. Karena itu, wajarlah jika premis-premis ekonomi yang bebas nilai agama justru menciptakan kegagalan ekonomi masyarakat itu sendiri.

Bahkan, di Barat sendiri, saat ini muncul gejala kegelisahan jiwa yang teramat dalam akibat dominannya pendekatan materialisme. Sehingga, sekarang mulai berkembang apa yang dinamakan Spiritual Economics, sebuah mazhab yang mencoba melihat persoalan ekonomi tidak hanya dari perspektif material, melainkan juga perspektif spiritual. Kemunculan mazhab ekonomi spiritual ini merupakan antitesis terhadap pendekatan ekonomi neoklasik yang lebih menitikberatkan kesejahteraan pada tingginya angka pendapatan dan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik semata.

Selama ini, Pembangunan fisik kerap kali dijadikan sebagai alat monumental, untuk mengindikasikan keberhasilan pembangunan. Padahal ada banyak persoalan yang muncul bersamaan dengan indikator kesuksesan tersebut.

Jika, kita cermati, Pemerintah Jokowi, nampaknya terlalu mengejar pertumbuhan, namun mengabaikan pemerataan kesejahteraan penduduknya. Ironis memang, dibalik jor-joran pembangunan infrastruktur dan jalan tol masih ada 26,4 Juta Orang Miskin. Sehingga tingkat ketimpangan sosial sangat tinggi. Jadi, apa yang tersisa dari pembangunan infrastruktur yang massif dan utang menggunung?

Padahal, jika kita belajar teori pembangunan, keberhasilan pembangunan itu sebenarnya diukur oleh tiga indikator, yaitu kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Jadi, ukuran keberhasilan pembangunan bukanlah berapa ribu kilometer jalan tol yang berhasil dibangun, tapi berapa jumlah orang miskin yang kini hidupnya sejahtera.

Maka sudah waktunya kita mengingatkan pemerintah agar lebih serius mengembangkan sistem ekonomi Pancasila yang berbasiskan spiritual sebagai Prinsip dan Proses Kemakmuran Sejati (Spiritual Economics: The Principles and Process of True Prosperity). Pasalnya tujuan dari pembangunan yaitu tidak lain adalah menyejahterakan rakyat atau menjadi lebih baik dari sebelumnya. 

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, sesuai makna adiluhur Kemanusiaan Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi bukan sebagian namun seluruh rakyat Indonesia, dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri untuk menyampaikan saran agar Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf menerapkan Sistem Ekonomi Pancasila. Semoga. (az).




This blog is created for your interest and in our interest as well as a website and social media sharing info Interest and Other Entertainment.